30 December 2018

Traveling to Sumba (#2 Journey)



Sumba adalah sebuah pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jujur, aku gak tau apa-apa lagi tentang Sumba selain keindahan alam-nya. Diantara aku dan Vina, mungkin Vina-lah yang lebih excited. Aku senang karena emang udah saatnya short getaway lagi setelah Bromo, dan tidak terlalu memusingkan destinasi selama aku belum pernah kesana.

Flight kami terlalu pagi...sekitar jam 5. Why? Karena jadwal tour-nya dimulai jam 11 pagi, dan flight schedule yang paling mendekati hanya yang ini. Berangkat dari Soekarno-Hatta Intl Airport (CGK) jam 5 WIB dengan Lion Air, akan sampai di Waikabubak Airport (TMC) jam 11.45 WITA dengan Wings Air, dengan durasi transit 2,5 jam di Ngurah Rai. Untuk info bagasi, actually untuk Lion Air dapat 20 kg, dan 10 kg untuk Wings Air. Tapi aku dan Vina memutuskan untuk hand carry our luggage to cabin. Kita terlalu parno kalo koper masuk bagasi, dan gak tiba barengan. Jadi untuk meminimalisir hal seperti ini, aku selalu hand carry luggage setiap departure yang butuh transit. Dan ternyata tangga pesawat propeller-nya sangat kecil untuk bawa-bawa koper sendiri, jadi agak-agak rusuh gitu ya. Pramugari-nya pun menawarkan untuk taruh di bagasi kalo cabin-nya ga cukup, tapi untungnya cukup.

Ini pengalaman pertama kita berdua menaiki pesawat propeller. Lucu ya, pesawatnya kadang naik turun seperti kehempas angin terus perut jadi geli gitu.

Finally, kita mendarat di Tambolaka!


Selanjutnya, aku akan berbagi itinerary yang lengkap untuk kunjungan Sumba selama 4D3N. Ternyata, setelah kita mendarat di Tambolaka, Pak Samad belum stand by, karena biasanya suka delay. Ya maklum, we all knew Lion suka delay haha jadi unexpected gitu kalau on-time. Bandara Tambolaka seperti bandara provinsi berkembang pada umumnya, penumpang turun langsung dari pesawat dan within walking distance sudah bisa mencapai bangunan utama bandara.

Kita iseng, mau liat bagian luar bandara. Beberapa penduduk lokal mengerubungi kami untuk menawarkan jasa sewa mobil. Kami langsung menepi dengan sopan dan memberitahu kalau kita akan dijemput. Kuncinya, jangan panik tapi harus tetap ramah dengan senyum. Gak perlu yang merekah banget, yang penting orang lain tau kalau kamu lagi senyum. Ehe.

Setelah beberapa lagu disney kudendangkan ke telinga Vina, datanglah dua mobil innova. Satu orang langsung ku kenali sebagai Pak Samad. Dan jengjeng, beliau memberitahu kalau peserta open trip-nya hanya kami berdua, dan kami berdua akan didampingi oleh Pak Ryan karena beliau harus menemani tamu dari Singapore esok hari.

Untuk di Sumba Barat Daya, kita menginap di Hotel Ella. Hotelnya oke sih, bersih. Dilanjutkan makan di Rumah Makan Warungku. Ambiance-nya warbiasah sih, banyak pohon rindang dan kita makannya di saung gitu. Ada alat karoke juga kalo mau nyanyi, sayang Vina-nya masih malu-malu buat nyanyi. Disini kita icip Ikan Kuah Asam, katanya makanan favorit disini. Sayangnya, aku tidak terlalu suka ikan yang disajikan berkuah. Lalu perjalanan dilanjutkan ke Pantai Bwanna.

Sepanjang perjalanan, Ryan, menjelaskan rumah disini masih mengikuti model rumah adat dengan pemakaman keluarga di depan bangunan rumah. Hewan peliharaan juga bervariasi, dari ayam, anjing, babi, hingga kuda. Untuk kendaraan, ada yang sudah beralih ke kendaraan bermotor ada pula yang masih jalan kaki dan berkuda. Lampu lalu lintas yang dulu terpasang juga dicabut kembali, karena tidak semua penduduk paham aturannya malah mengakibatkan celaka. Lalu untuk listrik, masih ada daerah yg belum tersentuh listrik, dan beberapa daerah juga tidak ada sinyal. Sinyal yang paling oke disana itu Telkomsel.

Setibanya di pintu masuk Pantai Bwanna, Pak Ryan, mengingatkan kita untuk tidak turun terlebih dahulu, sampai beliau deal dengan warga setempat mengenai penuntun jalan. Disini aku agak parno sih, karena mobil kita dikerubungi oleh remaja lokal, ada yang intip-intip melalui jendela juga. Ternyata tidak perlu khawatir, mereka semua itu tidak ada niat jahat. Mereka tidak berbicara bahasa Indonesia, dan dialeknya agak sedikit asing di telinga. Lalu biasanya penduduk lokal membawa parang sebagai alat pertahanan diri, dan mereka belum mengenal deodorant. Oh dan terlebih lagi kenapa mereka mengerubungi kami adalah tidak ada-nya sistem yang jelas soal pembagian tamu diantara mereka. Sebenernya Pantai Bwanna ini adalah lahan milik penduduk lokal, tangga yang kita gunakan itu adalah urunan gotong royong hasil kerja mereka. Karena jalan yang agak curam, kita membutuhkan satu orang penuntun jalan. Harusnya guide ini untuk membantu kita berdua haha tapi aku memonopoli si guide karena terlalu takut untuk melangkah. Setelah itu, perjalanan pun dilanjutkan ke Tanjung Mareha untuk melihat karang bolong dari kejauhan.

Pantai Bwanna atau Bawana.
Pantes kaki gue rasanya pegel-pegel, masuk angin toh karena celana kebasahan?

Yang terlihat dari Tanjung Mareha


Untuk melihat sunset hari pertama, Ryan mengantar kami ke Pantai Pero. Disini unik, karena terdapat karang-karang yang runcing. Sambil menanti senja, gerombol bocah lokal menghampiri kami untuk bersenda gurau hingga bernyanyi.



Hari kedua, perjalanan yang sangat panjang menanti. Kami melanjutkan perjalanan dari sumba barat daya, menuju sumba barat, dan terakhir akan mencapai sumba timur. Kami tiba sebentar di Pantai Mandorak. Aku suka gradasi tosca pantai ini. Iri melihat anak-anak berenang dengan riang. Fyi, pantai ini berada di lahan punya WNA, namun diurus oleh warga lokal sementara pembangunan masih berlangsung.

Pantai Mandorak, dengan pasir yang terlalu lembut.
Sinar matahari-nya oke banget, kulit gue jadi kinclong.
No filter needed.

Perjalanan dilanjutkan menuju destinasi ter-populer, Danau Weekuri. Danau ini berbatasan dengan pantai, yang dihubungkan oleh karang. Karena air-nya air laut, pengunjung dapat dengan mudah mengambang sehingga banyak yang mencoba lompat indah. Mereka aja, gue enggak. Pengelola juga menyediakan ruang ganti dan penyewaan ban. Ah, disini juga terdapat berbagai souvenir dan kain sumba dengan harga terjangkau.

Danau Weekuri, dari atas tempat lompat indah.
Duduk aja udah gemetar.
Ngambang.
Kegiatan paling bikin rileks mentally.
Keasikan berenang di tengah air laut yang tenang dan di bawah teriknya mentari, kita sampai lupa waktu. Untung kita berenang deket tangga, gak kebayang kalau Pak Ryan mesti berenang buat ngingetin kita. Oya, untuk harga toilet lupa sih tepatnya tuh ada harga tertulis atau engga tapi kalo gak salah harganya 5,000 per orang untuk masuk WC dan 5,000 per ember untuk air. Karena air-nya susah, anak dari pemilik harus bolak-balik ambil air. Gak tega sih buat buang-buang air selama disini, karena pengorbanannya sangat nyata terlihat. Padahal gue udah gereget banget buat nyiram itu lantai.

Perjalanan lanjut ke Kampung Adat Praijing. Ekspektasi gue ketinggian. Gue pikir gue bisa duduk santai dulu sambil ngobrol dengan penduduk asli. Siapa tau ada yang lagi menenun, terus gue diajarin sedikit. Tapi engga dong. Haha. Energi gue udah abis buat jalan dari parkiran ke kampung-nya, karena terlalu nanjak jadi gue cuma senyum ke penduduk-nya, keabisan napas coy. Bahkan sebenernya gue udah gabisa naik lagi ke spot untuk foto dengan background rumah adat.



Udah, abis foto langsung lanjut lagi ke Air Terjun Lapopu. Jarak tempuhnya cukup dekat, tapi gue deg-degan juga. Haha. Duh, disini tuh seakan alam memberitahu peribahasa "berakit-rakit ke hulu, bersenang-senang kemudian" yang kalau diterjemahkan menjadi "pegel-pegel dulu, nanti foto instagram bagus". Tidak ada yang mudah sis. Tapi ada anjing penduduk, dia santai-santai aja dong.



Perjalanan hari ini udah selesai, karena kita harus meneruskan perjalanan ke Sumba Timur, yeay! Gue mau kasih tau, bagi yang suka mabok darat lebih baik minum antimo. Untuk yang punya maag, kan harus cemil-cemil ya, itu jangan langsung miringin kepala atau badan deh lebih baik duduk tegak dan jangan main hp. Why? Gue kemarin di mobil main hp kan tuh buat pilih foto buat instagram, tapi jadinya agak mual. Karena jalanannya agak berlika-liku dan kosong jadi mobil akan ngebut.

Esoknya, perjalanan dimulai dengan destinasi Purukambera Savannah. Kita berangkat-nya agak kesiangan, jadi kuda-nya udah gak ada. Nah kuda yang biasanya muncul di foto orang-orang itu sebenernya kuda yang lagi cari makan. Terus untuk berkunjung, sebaiknya perhatikan musim. Aku memang lebih pilih hari yang terik agar mendapatkan cahaya yang bagus dan langit yang cerah, tapi kadang ilalang-nya pun ada yang sudah dibakar oleh yang punya tanah.

Purukambera Savannah
Mandatory pose with Kain Sumba
Disini Pak Ryan memberikan pilihan untuk melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Tanggedu atau Air Terjun Wai Marang. Pertimbangannya adalah kalau ke Air Terjun Tanggedu, trekking akan lebih jauh dan perlu naik ojeg seharga 150,000 per orang untuk menghemat waktu. Kalau ke Air Terjun Wai Marang, trekking lebih singkat namun tidak se-populer Air Terjun Tanggedu. Setelah menimbang kondisi diri dan foto dari google, kita tetap seperti rencana awal ke Air Terjun Tanggedu. Here we come!



Sebenernya kalau dilihat dari itinerary yang dulu pernah dikasih oleh Pak Samad, sebelum Tanggedu seharusnya kita mampir ke Bukit Mondu. Takut Pak Ryan lupa, gue pun akhirnya bertanya "Pak kita gak ke bukit mondu?" Terus dengan santainya Pak Ryan jawab, "Iya, ini kita udah sampe. Silakan turun mbak, biasanya orang-orang foto di sebelah situ", sambil menarik rem tangan. HAHAHAHA.



Hmm abis dari Bukit Mondu, kita kemana ya?

Oh! Pantai Walakiri! Pantai yang populer karena pohon mangrove-nya. Di pinggir pantai ini, gue melihat babi peliharaan yang gede-nya minta ampun. Awalnya gue pikir, "Kok ada ya yang ngerawat kuda nil". Secara saat itu udah mulai sunset dan minim lampu, jadi gue ngelihat bentuknya itu seperti kepalanya kuda nil karena kaki-nya tertutup oleh semak-semak.



Disini rame banget. Pengunjung banyak yang udah siap banget dengan tripod masing-masing. Aku iri :(. Ada juga yang bawa drone. Untungnya, para pengunjung ini cukup terdidik ya jadinya mereka dengan pengertian saling ganti-gantian di spot foto dan saling bantu juga untuk motoin.

Rencananya buat hari terakhir besok itu mau sunrise di Bukit Wairinding.



Sempet miss dari jadwal yang direncanakan, karena Pak Ryan-nya bablas haha. Kita semua terlalu lelah dari Tanggedu. Disini dingin banget. Gue cuma bermodalkan kaos, blazer rajut tipis, dan kain sumba buat properti foto. Abis itu balik lagi ke hotel buat mandi dan persiapan check-out.

Sebelum ke bandara, kita mampir dulu ke pusat kain sumba di Waingapu, katanya tempat Dian Sastro belanja. Kainnya bagus-bagus dan memakai pewarna alami jadi harganya agak sedikit tinggi. Karena vina dan gue bokek jadi kita cuma duduk dibawah pohon aja.

Selanjutnya kita ke Bandara Waingapu. Bandaranya lebih kecil dari Tambolaka, frekuensi penerbangannya juga lebih sedikit. Bandara buka jam 10, masih ada 1 jam sebelum bandara dibuka, Pak Ryan mengajak kita ke Bukit Persaudaraan. Baik-nya <3. Diatas bukit ini panas banget, mungkin karena kita jadi lebih deket ke matahari gak sih haha. Tapi diatas bukit ini kita bisa tengok kiri pemandangan sawah dan tengok kanan pemandangan laut.


Dini happy
Persawahan yang asri,
dan bukit savannah dibelakangnya.

Semoga catatan perjalanan ini membantu ya. Semoga bisa segera menapakkan kaki di Tanah Humba. Amen.

PS. Don't forget to watch my documentation here.

No comments:

Post a Comment